GOLEK-GOLEK

Selasa, 29 Maret 2011

MENINGKATKAN POTENSI GERAK ANAK CEREBRAL PALSY

BAB I
PENDAHULUAN
Cerebral Palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya.
Pendidikan jasmani adalah proses pendidikan tentang dan melalui aktivitas jasmani, permainan atau olahraga terpilih untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebagaimana anak yang normal, anak tunadaksa sebagai anak berkebutuhan khusus pun berhak mendapatkan pendidikan, sehingga merekapun berhak mendapatkan pendidikan jasmani sebagai salah satu proses untuk mencapai tujuan pendidikan mereka. Namun tentu saja karakteristik anak tuna daksa (cerebral palsy) yang berbeda dengan anak normal mengharuskan adanya program khusus dalam pelaksanaan pendidikan jasmani bagi mereka. Program pendidikan jasmani yang dibuat khusus untuk anak berkebutuhan khusus termasuk cerebral palsy disebut pendidikan jasmani adaptif.
Program pendidikan jasmani adaptif bagi anak berkebutuhan khusus, termasuk di dalamnya anak tunadaksa (cerebral palsy) akan dibuat khusus dan berbeda dengan program pendidikan jasmani bagi anak normal, sehingga perlu adanya modifikasi-modifikasi tertentu dalam kurikulum, strategi pembelajaran, materi dan alat (media) yang digunakan, teknik pembelajaran, serta lingkungan tempat belajar.
Berdasarkan tujuan pendidikan jasmani adaptif yang ada yaitu untuk menolong siswa mengkoreksi kondisi yang dapat diperbaiki, membantu siswa melindungi diri sendiri dari kondisi apapun yang memperburuk keadaannya melalui pendidikan jasmani tertentu, memberikan kesempatan pada siswa mempelajari dan berpartisipasi dalam sejumlah macam olah raga dan aktivitas jasmani, waktu luang yang bersifat rekreasi, menolong siswa memahami keterbatasan kemampuan jasmaniah dan mentalnya, membantu siswa melakukan penyesuaian social dan mengembangkan perasaan memiliki harga diri, membantu siswa dalam mengembangkan pengetahuan dan apresiasi terhadap mekanika tubuh yang baik, menolong siswa memahami dan menghargai macam olahraga yang dapat diminatinya sebagai penonton, maka diharapkan dapat mengoptimalkan potensi anak berkebutuhan khusus termasuk anak tunadaksa agar kehidupan mereka semakin bermakna bagi mereka sendiri dan orang lain.


BAB II
PEMBAHASAN
A.Pendidikan Jasmani Adaptif bagi Anak Tuna Daksa (Cerebral Palsy)
Pada kenyataannya anak-anak berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan yang lebih besar akan gerak. Seperti dikatan oleh beberapa ahli, bahwa pendidikan jasmani harus menjadi program utama dari pendidikan luar biasa secara keseluruhan, karena menjadi dasar atau fondasi bagi peningkatan fungsi tubuh yang diperlukan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (cerebral palsy). Apalagi untuk anak-anak cerebral palsy yang memang jelas-jelas ketidakmampuan pada motoriknya yang diakibatkan rusaknya otak. Pendidikan jasmani dapat memberikan sumbangan kepada siswa berkebutuhan khusus (cerebral palsy).
Program pendidikan jasmani harus spesifik dan keterampilan harus diajarkan dalam pola-pola yang baik, mulai dari gerak-gerak yang paling sederhana dan bertahap ke gerak-gerak yang lebih kompleks. Sebelum guru memberikan pembelajaran pendidikan jasmani adaptif kepada siswa, guru harus mengetahui tentang kondisi siswa tersebut antara lain kemampuan gerak anak, komunikasinya, perawatan diri, dan bagaimana anak menggunakan alat bantu.
Latihan persepsi motorik adalah kemampuan seseorang menafsirkan antara objek dan peristiwa motorik sebagai sarana membedakan antara sifat motorik yang buruk dan baik. Contoh pemanduan antara penafsiran dan tugas motorik dengan perkembangan kesadaran berupa kinestika yang diperoleh lewat partisipasi pengalaman motorik terutama aktivitas yang melibatkan otot besar seperti berjalan. Salah satu tujuan program motorik bagi tuna daksa (cerebral palsy) adalah membantu menafsirkan informasi sensori bagi respon motorik yang lebih baik sehingga meningkatkan kemampuan belajar motorik. Diantaranya gerakan atau motorik diklasifikasikan sebagai keterampilan gerak dasar diantaranya berupa keseimbangan, pembengkokan, membawa, menangkap, merangkak, memukul, bangun, memanjat naik, menggelinding, lari, berhenti, mengayun, melempar, menyentuh, berjalan, membungkuk dan menggapai.
Dalam pendidikan jasmani adaptif bagi cerebral palsy guru perlu mengakui bahwa aspek psikologis dari situasi kelas sama dan bahkan lebih penting daripada tujuan substantif pendidikan jasmani. Disamping itu guru perlu memiliki cara-cara kreatif dalam pengajaran agar dapat memotivasi anak.
Ciri dari program pengajaran penjas Adaptif
Sifat program pengajaran pendidikan jasmani adaptif memiliki ciri khusus yang menyebabkan nama pendidikan jasmani ditambah dengan kata adaptif. Adapun ciri tersebut adalah:
Program Pengajaran Penjas adaptif disesuiakan dengan jenis dan karakteristik kelainan siswa. Hal ini dimaksutkan untuk memberikan kesempatan kepada siswa yang berkelainan berpartisipasi dengan aman, sukses, dan memperoleh kepuasan. Misalnya bagi siswa yang memakai korsi roda satu tim dengan yang normal dalam bermain basket, ia akan dapat berpartisipasi dengan sukses dalam kegiatan tersebut bila aturan yang dikenakan kepada siswa yang berkorsi roda dimodifikasi. Demikian dengan kegiatan yang lainnya. Oleh karena itu pendidikan Jasmani adaptif akan dapat membantu dan menolong siswa memahami keterbatasan kemampuan jasmani dan mentalnya.
 Program Pengajaran Penjas adaptif harus dapat membantu dan mengkoreksi kelainan yang disandang oleh siswa. Kelainan pada Anak luar Biasa bisa terjadi pada kelainan fungsi postur, sikap tubuh dan pada mekanika tubuh. Untuk itu, program pengajaran pendidikan Jasmani adaptif harus dapat membantu siswa melindungi diri sendiri dari kondisi yang memperburuk keadaanya.
Program Pengajaran Penjas adaptif harus dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan jasmani individu ABK. Untuk itu pendidikan Jasmani adaptif mengacu pada suatu program kesegaran jasmani yang progressif, selalu berkembang dan atau latihan otot-otot besar. Dengan demikian tingkat perkembangan ABK akan dapat mendekati tingkat kemampuan teman sebayanya.
Apabila program pendidikan jasmani adaptif dapat mewujudkan hal tersebut di atas. maka pendidikan jasmani adaptif dapat membantu siswa melakukan penyesuaian sosial dan mengembangkan perasaan siswa memiliki harga diri. Perasaan ini akan dapat membawa siswa berprilaku dan bersikap sebagai subjek bukan sebagai objek di lingkungannya.
Tujuan pendidikan jasmani adaptif:
a. Untuk menolong siswa mengkoreksi kondisi yang dapat diperbaiki.
b.    Untuk membantu siswa melindungi diri sendiri dari kondisi apapun yang memperburuk keadaannya melalui Penjas tertentu.
c.    Untuk memberikan kesempatan pada siswa mempelajari dan berpartisipasi dalam sejumlah macam olah raga dan aktivitas jasmani, waktu luang yang bersifat rekreasi.
d.    Untuk menolong siswa memahami keterbatasan kemampuan jasmani dan mentalnya.
e.    Untuk membantu siswa melakukan penyesuaian social dan mengembangkan perasaan memiliki harga diri.
f.    Untuk membantu siswa dalam mengembangkan pengetahuan dan appresiasi terhadap mekanika tubuh yang baik.
g.    Untuk menolong siswa memahami dan menghargai macam olah raga yang dapat diminatinya sebagai penonton.

B.Meningkatkan Potensi Anak Tuna Daksa (Cerebral Palsy) melalui Pendidikan Jasmani Adaptif.
Pada dasarnya anak tunadaksa mempunyai potensi-potensi tertentu di balik keterbatasan yang mereka miliki. Termasuk kemampuan atau potensi fisik yang mereka milikipun sesungguhnya tidak kalah dengan anak-anak normal, sehingga anak tunadaksapun dapat melakukan pendidikan jasmani adaptif dengan keadaan fisik yang masih mereka miliki, bahkan kemampuan merekapun dapat dikembangkan menjadi suatu prestasi yang dapat membanggakan.
Anak tunadaksa yang tidak memiliki kedua tangan dan kedua kaki dapat dilatih menjadi perenang yang hebat. Begitu juga anak tunadaksa yang tidak mempunyai kedua tangan, masih dapat melakukan kegiatan olahraga lain seperti lompat jauh atau lompat tinggi jika dilatih dengan baik. Contoh lain anak tunadaksa yang tidak mempunyai kedua kaki dapat bermain basket meskipun dengan kursi roda. Potensi yang bisa dikembangkan dari diri anak tunadaksa dan menghargai macam olah raga yang dapat diminatinya sebagai penonton atau bahkan yang berhubungan dengan olah raga yang begitu dekat dengan pendidikan jasmani adaptif sesungguhnya sangat banyak, dan semuanya hanya dapat diperoleh dengan berbagai latihan melalui pendidikan jasmani adaptif. Sehingga anak tunadaksa dapat memahami mereka sendiri yang sebagai pelaku dalam olah raga tersebut.
Kondisi fisik yang terbatas diharapkan dapat dikoreksi, dikembalikan atau ditambah fungsinya melalui pendidikan jasmani adaptif ini. Dengan pendidikan jasmani adaptif ini anak akan dilatih bagaimana melindungi diri dari kondisi yang memperburuk keadaannya, sehingga dengan tercapainya tujuan pendidikan jasmani adaptif anak tunadaksa dapat mencapai potensi terbaik yang dimiliki dan dapat diberikan terlepas dari semua keterbatasan kondisi fisiknya.
Model Pembelajaran Jasmani untuk anak Tuna Daksa Ringan dan Berat
Variasi olahraga yang cocok untuk anak tuna daksa ringan adalah olahraga seperti biasanya tapi hanya tidak menggunakan tangan kirinya. Misalnya bermain volly, basket, sepak bola, dll. Sedangkan untuk anak tuna daksa berat, seperti memiliki kekurangan pada tangan kirinya, kakinya lumpuh sehingga menggunakan kursi roda untuk mobilisasi. Olahraga yang cocok untuk tuna daksa berat antara lain:
Olahraga lempar tangkap bola dari tangan kanan ke tangan kiri, mulai dari bola kecil sampai bola besar.
Bermain basket tetapi menggunakan bola yang agak ringan seperti bola plastik dan menggunakan ring alternatif rendah sehingga mudah untuk memasukan bolanya dan menggunakan peraturan yang disesuaikan dengan karakteristik anak (simpel).
Senam dan olah tubuh sehingga mempunyai peran ganda yaitu selain menyehatkan tubuh juga bisa sebagai sarana terapi tangan kirinya.
Model rancangan pendidikan jasmani dalam rangka meningkatkan potensi gerak anak Cerebral Palsy dari kelompok kami adalah sebagai berikut:
Nama Permainan : Basket Matika
Jenis Permainan : Lokomotor
Bentuk Permainan : Kelompok
Tujuan Umum Permainan : Melatih kemampuan motorik dan kognitif anak.



Tujuan Khusus Permainan :
Melatih kemampuan motorik kasar anak dengan berpindah tempat dan melempar.
Melatih kemampuan motorik halus anak dengan latihan memegang bola.
Melatih kognitif anak dengan kegiatan berhitung (dibatasi pada soal yang hasil penjumlahannya dari 2-10).
Melatih sosialisasi dan kerjasama dengan teman sebayanya.

Alat yang dibutuhkan :
Bola Plastik
Kardus
Tali Rafia
Kertas
Tempat : Di dalam dan luar lapangan
Waktu Permainan : 20 Menit
Teknis Permainan :
Rileksasi
Pelaksanaan Permainan/aturan main
Penutup
Pelaksanaan Permainan :
Permainan terdiri dari dua kelompok yang masing-masing anggota kelompok terdiri dari tiga orang.
Siswa yang berada pada posisi pertama bertugas untuk membacakan soal.
Siswa yang berada pada posisi kedua bertugas menjawab soal dan mencari jawaban yang tepat yang berada pada pola dan menyerahkan bola tersebut kepada siswa yang berada pada posisi tiga.
Siswa yang berada pada posisi ketiga bertugas menerima bola dari siwa pada posisi kedua dan melemparkannya ke ring yang telah disediakan.
Setiap siswa bergatian posisi setelah menyelesaikan tugasnya.
Penilaian :
Penilaian menggunakan prinsip kecepatan dan ketepatan
1.Perhitungan yang paling diutamakan adalah kecepatan. Untuk kecepatan, semua kelompok diberi bekal nilai 100.. (100:20=5) setiap menit bernilai 5 point. Jadi setiap menit yang dihabiskan untuk melaksanakan permainan akan diakumulasi jumlah poinnya kemuadian dikurangkan pada poin yang telah diberikan(100). Semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas maka semakin banyak pengurangannya dan menyisakan poin yang semakin sedikit begitu pula sebaliknya.
2.Ketepatan merupakan kebenaran dari menjawab soal. Setiap soal yang benar mendapatkan nilai 20 poin. Jumlah soal 5, sehingga jika benar semua mendapat nilai 100.
Setelah itu nilai diakumulasikan dan kelompok yang mendapat nilai tertinggi itulah kelompok yang menang.



BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan.
Cerebral Palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Program pendidikan jasmani adaptif bagi anak berkebutuhan khusus, termasuk di dalamnya anak tunadaksa (cerebral palsy) akan dibuat khusus dan berbeda dengan program pendidikan jasmani bagi anak normal, sehingga perlu adanya modifikasi-modifikasi tertentu dalam kurikulum, strategi pembelajaran, materi dan alat (media) yang digunakan, teknik pembelajaran, serta lingkungan tempat belajar. Olahraga yang cocok untuk golongan berat ini antara lain:
·    Olahraga lempar tangkap bola dari tangan kanan ke tangan kiri mulai dari bola kecil sampai bola yang agak besar.
·    Bermain basket tapi menggunakan bola yang agak ringan misalnya bola plastic, menggunakan Ring yang relative rendah sehingga mudah untuk memasukkan bolanya, dan menggunakan aturan yang simple (tidak standard).
·    Senam dan olah tubuh sehingga mempunyai peran ganda yaitu selain menyehatkan tubuh juga bisa sebagai sarana terapi untuk tangan kirinya.

Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


Membicarakan anak-anak berkebutuhan khusus, sesungguhnya banyak sekali variasi dan derajat kelainan. Ini mencakup anak-anak yang mengalami kelainan fisik, mental intelektual, sosial emosional, maupun masalah akademik.
Anak-anak berkelainan fisik:
1.Klasifikasi Anak Tuna Netra
Anak tuna netra adalah anak yang mengalami kelainan atau gangguan fungsi penglihatan, yang memiliki tingakat atau klasifikasi yang berbeda-beda. Secara paedagogis membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajarnya di sekolah, berdasarkan tingkatannya dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan
Kelainan penglihatan kategori Low vision (kurang lihat) yaitu penyandang tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m. Sedangkan kategori berat atau The Blind yaitu penyandang tunanetra yang memiliki tingkat ketajaman penglihatan 6/60m atau kurang. Untuk yang kategori berat ini, masih ada dua kemungkinan yaitu adakalanya masih dapat melihat gerakan-gerakan tangan atau hanya dapat membedakan gelap dan terang. Sedangkan tuna netra yang memiliki ketajaman penglihatan dengan visus 0, sudah sama sekali tidak dapat melihat.
Berdasarkan adaptasi Pedagogis
a.Kemampuan melihat sedang (moderate visual disability), masih dapat melaksanakan tugas-tugas visual yang dilakukan orang awas dengan menggunakan alat bantu khusus serta dengan bantuan cahaya yang cukup.
b.Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability), memiliki penglihatan yang kurang baik, atau kurang akurat meskipun dengan menggunakan alat bantu visual dan modifikasi.
c.Ketidakmampuan melihat taraf berat (profound visual disability), mengalami kesulitan dalam melakukan tugas-tugas visual, dan tidak dapat melakukan tugas-tugas yang lebih detail seperti membaca dan menulis.

2.Klasifikasi Anak Tuna Rungu
Tuna rungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seorang anak. Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami hambatan dan keterbatasan dalam merespon bunyi-bunyi yang ada disekitarnya. Tuna rungu terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan mendengar, yang umum dan khusus.
a.Klasifikasi umum
The deaf atau tuli yaitu penyandang tuna rungu berat dan sangat berat dengan tingkat ketulian diatas 90dB.
Hard of hearing atau kurang dengar yaitu penyandang tuna rungu ringan atau sedang dengan derajat ketulian 20-90dB.
b.Klasifikasi khusus
Tuna rungu ringan, yaitu penyandang tuna rungu yang mengalami tingkat ketulian 25-45dB. Mengalami kesulitan untuk merespon suara-suara yang datangnya agak jauh.
Tuna rungu sedang, yaitu penyandang tuna rungu yang mengalami tingkat ketulian 46-70dB. Hanya mengerti percakapan pada jarak 3-5 feet (kaki) secara berhadapan.
Tuna rungu berat, yaitu penyandang tuna rungu yang mengalami tingkat ketulian 71-90dB. Hanya dapat merespon bunyi-bunyi dalam jarak yang sangat dekat dan diperkeras.
Tuna rungu sangat berat, yaitu penyandang tuna rungu yang mengalami tingkat ketulian 90dB keatas. Tidak dapat merespon bunyi sama sekali.
3.Klasifikasi Anak Tuna Daksa
Anak tuna daksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik, atau cacat tubuh yang mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan gerak dan kelumpuhan. Menurut tingkat kelainannya, anak-anak tuna daksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
(a.i.1.a)Cerebral Palsy
Ringan, dapat berjalan dengan alat bantu, mampu berbicara dan dapat menolong dirinya sendiri.
Sedang, memerlukan bantuan untuk berjalan, latihan berbicara dan mengurus diri sendiri.
Berat, memerlukan perawatan tetap dalam ambulasi, berbicara, dan menolong diri sendiri.
(a.i.1.b)Berdasarkan Letaknya
Spastic
Dyskenisia
Ataxia
Campuran/ganda
(a.i.1.c)Polio
Tipe spinal
Tipe bulbair
Tipe bulbispinalis
Encephalitis
Anak Berkelainan Mental Emosional:
1. Klasifikasi Anak Tuna Grahita
Ada beberapa klasifikasi atau pengelompokkan tuna grahita berdasarkan berbagai tinjauan, diantaranya:
a.i.1.c.i.1.Berdasarkan kapasitas intelektual (skor IQ)
Tuna grahita ringan IQ 50-70
Tuna grahita sedang IQ 35-50
Tuna grahita berat IQ 20-35
Tuna grahita sangat berat IQ <20
a.i.1.c.i.2.Berdasarkan kemampuan akademik
Tuna grahita mampu didik
Tuna grahita mampu latih
Tuna grahita mampu rawat

a.i.1.c.i.3.Berdasarkan tipe klini pada fisik
Down’s Syndrome (Mongolism)
Macro Cephalic (Hidro Cephalic)
Micro Cephalic
2. Klasifikasi Anak Tuna Laras
Anak tuna laras adalah anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya. Klasifikasi yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan perilaku sosial adalah:
Berdasarkan Perilakunya
Beresiko tinggi, hiperaktif, suka berkelahi, memukul, dll
Berisiko rendah, autism, cemas, ketakutan, merasa tertekan, dll
Kurang dewasa, suka berfantasi,suka berangan-angan.
Agresif, memiliki genk jahat, suka mencuri, dll
Berdasarkan Kepribadian
Kekacauan perilaku
Menarik diri
Ketidakmatangan
Agresi sosial (menyerang kelompok)
Anak Berkelainan Akademik
1.Klasifikasi anak berbakat
Anak berbakat adalah anak-anak yang mengalami kelainan intelektual di atas rata-rata. Beberapa klasifikasi yang menonjol dari anak-anak berbakat umumnya hanya dilihat dari tingkat intelegensinya, berdasarkan standar Stanford Binet yaitu meliputi:
Kategori rata-rata tinggi, IQ (110-119)
Kategori superior, IQ (120-139)
Kategori sangat superior, IQ (140-169)

2.Klasifikasi anak berkesulitan belajar
Berkesulitan belajar adalah salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang ditandai dengan adanya kesulitan untuk mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan dengan mengikuti pembelajaran konvensional. Ada klasifikasi yang berdasarkan dari jenis gangguan atau kesulitan yang dialami anak:
Dispraksia merupakan gangguan pada keterampilan motorik.
Disgraphia merupakan kesulitan dalam menulis.
Diskalkulia merupakan kesulitan dalam menghitung matematika.
Disleksia merupakan kesulitan membaca baik membaca permulaan maupun pemahaman.
Dysphasia merupakan kesulitan berbahasa dimana anak sering melakukan kesalahan dalam berkomunikasi baik menggunakan bahasa tulis maupun lisan.
Body awareness, anak tidak memiliki akan kesadaran tubuh sering salah prediksi pada aktivitas gerak mobilitas.

“Peranan dan Fungsi Guru dalam Kepemimpinan di Sekolah”

Di dalam ilmu psikologi sosial secara tradisional kata peran diartikan sebagai suatu perilaku yang selayaknya dikerjakan suatu posisi dan status yang dimiliki oleh si pemegang peran. Seseorang memegang predikat sebagai guru, atau dalam posisi sebagai guru, atau statusnya sebagai guru, maka sebagai konsekuensi logis, maupun implikasi praktis. Dengan menggunakan paradigma humanistik psikologi, maka dapat dirumuskan peran dan guru di dalam kepemimpinan pendidikan meliputi fungsi guru sebagai relator, guru sebagai diagnostisian, guru sebagai mediator, dan guru sebagai koreograper.
Guru sebagai relator.
Mengajar adalah suatu aktifitas mengorganisasi, dan mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak didik sehingga terjadi belajar. Peran dan fungsi guru sebagai relator adalah mengatur lingkungan serta membimbing aktifitas anak didik. Artinya guru jangan hanya mampu mendominasi kelas, melainkan guru juga harus mampu menyajikan aktifitas apa saja yang selayaknya diberikan kepada anak didik,dan dapat dikerjakan oleh murid. Guru mutlak perlu mengenali anak didiknya agar dapat mengajar dengan baik. Oleh karena itu di sekolah-sekolah modern “Permanent Cumulative record” merupakan sarana untuk mengenali murid dengan sebaik-baiknya. Pengenalan tentang cara belajar yang baik juga merupakan tugas guru. Agar siswa dapat belajar dengan baik maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu keadaan fisik anak, keadaan emosional dan sosial, keadaan lingkungan, kontrol diri (pengendalian diri), sikap optimistic, punya time schedule, dan disiplin.
Guru sebagai diagnostisian.
Pengajaran di negeri kita sampai saat ini masih salah kaprah, salah satu bentuknya adalah perilaku mengajar guru lebih mementingkan asas efisiensi ketimbang efektifitas pengajaran. Untuk merombak masalah tersebut, pihak sekolah harus berani melakukan reformasi di dalam pengelompokkan siswa sehingga dihasilkan kelas-kelas dengan kapasitas belajar anak yang relatif homogeny, dan demikian materi belajarnya dapat disesuaikan dengan kapasitas tiap-tiap kelompok atau kelas. Itu sebabnya seorang guru harus mengenali betul anak didiknya, agar mampu mendiagnosis kesulitan-kesulitan belajar siswa, dan memberikan bantuan, tugas-tugas individual.
Guru sebagai mediator pembelajaran.
Sekolah didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak menjadi warga negara yang berguna dalam masyarakat, dan untuk mengajar anak menjadi warga negara yang cerdas. Karena masyarakat sebagai sumber belajar, maka guru hendaknya mampu mengenal masyarakat serta lingkungannya dan memanfaatkan secara fungsional dalam pembelajaran. Dengan demikian guru bertindak sebagai mediator atau fasilitas belajar. Dan sekolah hendaknya bersifat community oriented dan memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat. Sebaliknya masyarakat juga harus rela memberikan bantuan yang diperlukan oleh sekolah.
Guru sebagai koreograper
Maksud guru sebagai koreograper yaitu guru yang menuntut pelibatan aspek aestetikal dan emosional di dalam melaksanakan tugasnya. Guru perlu melibatkan kemampuan teknis mengajar disamping harus mampu menata aspek emosional, baru kemudian mengajar.

Asesmen Anak Tuna Rungu

Asesmen Anak Tuna Rungu
Pendidikan anak tuna rungu merupakan proses yang kompleks. Penempatan yang tepat, cara cara belajar terbaik bagi masing-masing anak (auditori, visual, atau manual), kurikulum, amplifikasi, dan keputusan tentang transisi dari satu lembaga layanan ke lembaga layanan lainnya yang diambil oleh keluarga, sekolah dan individu, bergantung pada informasi yang reliabel.
Tujuan-tujuan asesmen anak tuna rungu mencakup:
Menetapkan baseline level kinerja anak
Menentukan penenpatan yang tepat atau mengubah penempatannya
Mengukur kemajuan anak
Merumuskan saran-saran untuk pemecahan masalah yang timbul, seperti masalah perilaku, kesulitan perhatian, atau lambatnya perhatian anak.
Mengembangkan tujuan dan sasaran program yang sedang diimplementasikan.
Pembelajaran tuna rungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tuna rungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif (MMR). Pembelajaran bagi anak tuna rungu berbeda dari pembelajaran pada umumnya. Hal ini dikarenakan tuna rungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tuna rungu menyerap informasi.
Melalui metode maternal reflektif (MMR) ini tuna rungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai artikulasinya, hingga tuna rungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar. Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca, dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh.
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).
Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.
Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya. Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak.
Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan.
Perkembangan Bahasa Anak Tuna Rungu
Banyak hal dampak yang paling serius dari ketunarunguan yang terjadi pada masa prabahasa terhadap perkembangan individu adalah dalam perkembangan bahasa lisan, dan akibatnya dalam kemampuannya untuk belajar secara normal di sekolah yang sebagian besar di dasarkan atas pembicaraan guru, membaca dan menulis.
Bahasa Tulis
Dalam hal bahasa tulis, terdapat juga cukup banyak bukti bahwa anak tuna rungu mengalami kesulitan untuk mengekspresikan dirinya secara tertulis. Dalam beberapa penelitian yang berfokus pada ketepatan sintaksis bahasa Inggris tertulis anak tunarungu, ditemukan bahwa mereka cenderung menggunakan banyak frase yang sama secara berulang-ulang dalam kalimat sederhana, lebih sedikit kalimat majemuk, dan mereka membuat banyak kesalahan kecil dalam penggunaan tenses, kata bilangan, penggunaan kata ganti dan kata penunjuk, dll. Menjelang usia 12 tahun, mereka cenderung dapat menguasai penulisan kalimat-kalimat sederhana, tetapi bila mereka mencoba menulis kalimat yang lebih kompleks, kesalahan-kesalahan kecil muncul lagi.
Ujaran (speech)
Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang keterpahaman ujaran anak tuna rungu pada berbagai tingkat ketunarunguannya. Keterpahaman ujaran individu tuna rungu bervariasi dari hampir normal hingga tak dapat dipahami sekali, kecuali oleh mereka yang mengenalnya dengan baik. Hasil penelitian yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Hudgins dan Numbers (1942) yang menganalisis ujaran 192 anak tuna rungu berat dan berat sekali. Mereka menemukan bahwa kekurangan dalam ujaran anak-anak ini adalah dalam hal ritme dan pemenggalan frase, suaranya agak monoton dan tidak ekspresif, dan tidak menghasilkan warna suara yang alami. Mereka juga menemukan bermacam-macam kesalahan artikulasi pada bunnyi-bunyi ujaran tertentu (kesalahan artukulasi vokal biasanya lebih sering dibandingkan konsonan). Hudgins dan Numbers menemukan bahwa kurang dapat dipahaminya ujaran individu tuna rungu itu lebih banyak diakibatkan oleh tidak normalnya ritme dan pemenggalan frase dari pada kesalahan artikulasi.
Terdapat tiga cara utama individu tuna rungu mengakses bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, dengan mendengarkan (bagi mereka yang masih memiliki sisa pendengaran), dan dengan komunikasi manual atau dengan kombinasi tiga cara tersebut.
1.Mengakses bahasa melalui membaca ujaran (speechreading)
Hanya sekitar 50% bunya ujaran bahasa inggris dapat dilihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat dibelakang bibir yang tertutup atau jauh di belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuannya yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenail bunyi-bunyi yang hilang. Jadi orang tuna rungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik dari pada tuna rungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tuna rungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik dari pada orang tuna rungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman dan Elkins,1994)
2.Mengakses bahasa melalui pendengaran
Meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenal oleh tuna rungu berat secara cukup baik untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tuna rungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut menyebabkan individu tuna rungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Disamping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tuna rungu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan baterai dan earmould yang tidak cocok.
3.Mengakses bahasa melalui isyarat tangan
Ashman dan Elkins (1994) mengemukakan bahwa bahasa isyarat yang baku menggambarkan lengkap tentang bahasa kepada tuna rungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Akan tetapi tidak semua siswa tuna rungu menggunakan bahasa isyarat, terutama yang pengajarannya menggunakan metode oral.

MAKALAH STIMULASI MOTORIK KASAR HALUS DAN KETERAMPILAN BICARA DAN BAHASA

BAB I
PENDAHULUAN
Usia paling kritis adalah sampai dengan usia anak lima tahun, dikatakan kritis karena usia tersebut merupakan suatu masa atau tahapan umur yang menentukan kualitas manusia pada usia selanjutnya. Golden Age berada pada masa paling kritis yaitu usia 0 sampai 2 tahun, karena 80% pertumbuhan otak terjadi pada masa usia emas tersebut. Disebuat sebagai Usia Emas dikarenakan jika pada usia 0 – 2 tahun tidak ada penanganan yang baik maka pada usia selanjutnya tidak bisa diperbaiki terutama pada kerusakan otak. Desmita (2006). White dalam Hurlock (1980) menjelaskan bahwa dasar-dasar yang diletakan selama 2 tahun pertama dari kehidupan merupakan dasar yang paling kritis. Menurut White, sumber kemampuan manusia ditemukan dalam masa kritis antara delapan dan delapan belas bulan. Selanjutnya, diterangkan bahwa pengalaman-pengalam anak selama rentang waktu itu lebih menentukan kemampuan dikemudian hari dari pada sebelum dan sesudahnya.
Pada tahap ini intervensi-intervensi dan upaya-upaya untuk mendukung perkembangan otak memberi dampak yang paling besar dan menentukan kehidupan anak selanjutnya. Upaya-upaya tersebut harus dilakukan tepat waktu sehingga perkembangan otak mencapai potensi yang paling optimal. Periode kritis adalah waktu yang khusus ketika perkembangan biologis anak berada pada tahap yang sangat prima untuk mengembangkan struktur syaraf dan atau keterampilan-keterampilan yang dipengaruhi oleh stimulus yang tepat.
Kekurangan stimulasi yang ekstrim akan mengakibatkan sedikitnya jalur-jalur syaraf yang tersedia untuk belajar sehingga secara intelektual anak tersebut mengalami kecacatan kognitif. Kekurangan stimulasi yang diperlukan otak anak juga berakibat mengganggu proses pertumbuhan otak anak secara alamiah. (Syarief, dkk, 2006).

BAB II
PEMBAHASAN
Stimulasi adalah suatu kegiatan merangsang kemampuan dasar Balita dan Anak Prasekolah yang dilakukan oleh lingkungan (ibu, bapak, pengasuh anak & anggota keluarga lain) untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya. Stimulasi dilakukan untuk merangsang 4 aspek kemampuan dasar, yaitu: Kemampuan Gerak Kasar (GK) ; Kemampuan Gerak Halus (GH) ; Kemampuan berbicara dan bahasa ; dan Kemampuan bersosialisasi dan kemandirian.
A.Perkembangan dan Stimulus untuk Motorik Halus dan Motorik Kasar
Keterampilan motorik adalah gerakan-gerakan tubuh atau bagian-bagian tubuh yang disengaja, otomatis, cepat dan akurat. Gerakan-gerakan ini merupakan rangkaian koordinasi dari beratus-ratus otot yang rumit. Keterampilan motorik ini dapat dikelompokkan menurut ukuran otot-otot dan bagian-bagian badan yang terkait, yaitu keterampilan motorik kasar (gross motor skill) dan keterampilan motorik halus (fine motor skill). Lerner & Hultsch (1983). Keterampilan Motorik Halus; meliputi otot-otot kecil yang ada diseluruh tubuh, seperti menyentuh dan memegang. Keterampilan Motorik Kasar; meliputi keterampilan otot-otot besar lengan, kaki, dan batang tubuh, seperti berlatih untuk mengikat sepatu sendiri, melompat dan berjalan. Lerner & Hultsch (1983).
Menurut dr. Radix Hadriyanto, Sp.A beberapa ciri khas tumbuh kembang anak yang normal secara umum menurut klasifikasi umurnya dapat dilihat pada table berikut :

Stimulasi gerak kasar dan halus yang dapat diberikan sesuai dengan jenjang usia antara lain:
1.Usia 0-1 tahun
Di usia 3-4 bulan kandungan, janin sudah menunjukkan gerakan tubuh pertamanya, yang semakin bertambah sejalan dengan pertambahan usia kehamilan. Gerakan kedua muncul saat bayi lahir, yaitu gerak refleks. Gerakan seperti mengisap puting susu ibu, gerak refleks tangan dan kaki, mengangkat kepala saat ditengkurapkan, dan membuka jari saat telapak tangannya disentuh, merupakan gerakan refleks yang bertujuan untuk bertahan, gerak refleks seharusnya distimulasi agar kemampuan awal si kecil terbentuk. Contohnya, bila gerak refleks tangan distimulasi dengan baik, dalam usia 2-3 bulan, bayi memiliki kemampuan menggenggam benda-benda yang berukuran besar.
Stimulasi yang bertahap dan berjenjang akan memberikan manfaat dalam kemampuan dan keterampilan menggenggam pada bayi. Bayi akan mampu menggenggam benda-benda yang lebih kecil hingga akhirnya bisa menggenggam sendok atau pensil warna.
Kemampuan kinestetik lain yang mesti dimiliki bayi usia 3-6 bulan adalah merayap dan merangkak. Kemampuan ini merupakan awal dari perkembangan bergerak maju, duduk, berdiri, dan berjalan. Orangtua bisa menempatkan bola warna-warni di depan bayi saat ia tengkurap. Warna-warni akan menarik bayi untuk mengambil dengan berusaha bergerak maju.
Setelah merangkak, anak akan belajar berjalan. Untuk berjalan, diperlukan kekuatan otot kaki, punggung, perut, keseimbangan tubuh, koordinasi mata-tangan-kaki, serta aspek mental, emosional, dan keberanian. Dengan banyaknya aspek yang terlibat dalam proses berdiri dan berjalan, jumlah sel otak yang terstimulasi pun bertambah banyak. Saat belajar berjalan, anak mencoba merambat dan berdiri sambil berpegangan benda-benda yang kuat
2.Usia 1-2 tahun
Di usia setahun, seluruh kemampuan dan keterampilan kinestetiknya sudah terbentuk. Untuk itu, perlu diberikan pengembangan stimulasi dengan penambahan pada bentuk, media, tingkat kesulitan, dan lainnya. Cara yang mudah adalah banyak bermain bersama anak seperti berlari, melompat, melempar, menangkap, berguling, dan lain-lain.
Anak akan lebih mudah belajar melempar daripada menangkap. Agar kemampuan anak menangkap bola atau benda bertambah, rajin-rajinlah orangtua bermain lempar-tangkap bola. Dengan cara ini pula kemampuan koordinasi mata dan tangan anak akan terlatih. Bila anak sudah mampu menangkap dan melempar, tingkat kesulitannya bisa ditambah. Contohnya, menambah jarak lempar-tangkap, mengganti bola yang lebih besar dengan yang kecil, serta arah lemparan semakin cepat.
Keterampilan motorik halus dan kasar berguna untuk kemampuan menulis, menggambar, melukis, dan keterampilan tangan lainnya. Anak juga bisa dilatih mengembangkan otot kaki, misalnya menendang bola, melompat dengan dua kaki, serta menaiki anak tangga (tentu dibantu orang dewasa)
3.Usia 3-4 tahun
Di usia ini, keterampilan dan kemampuan anak sebenarnya tidak jauh berbeda dengan anak usia 1-2 tahun. Perbedaan yang nyata hanya pada kualitasnya. Anak usia 3-4 tahun berlari lebih cepat ketimbang anak usia 1-2 tahun, lemparannya lebih kencang, dan sudah mampu menangkap dengan baik.
Kemampuan motorik kasar otot kaki anak, selain berjalan dan berlari cepat, antara lain mampu melompat dengan dua kaki, memanjat tali, menendang bola dengan kaki kanan dan kiri. Untuk motorik kasar otot lengan, anak mampu melempar bola ke berbagai arah, memanjat tali dengan tangan, mendorong kursi, dan lainnya.
Kemampuan yang melibatkan motorik halus untuk koordinasi mata-tangan, yaitu mampu memantul-mantulkan bola beberapa kali, menangkap bola dengan diameter lebih kecil, melambungkan balon, keterampilan coretan semakin baik.
Agar kemampuan dan keterampilan motorik halus serta kasar kian berkembang, anak bisa diberikan stimulasi kinestetik. seperti berjalan atau berlari zigzag, berjalan dan berlari mundur untuk mengembangkan otak kanan, melompat dengan dua kaki ke berbagai arah, menendang bola dengan kaki kanan atau kiri ke berbagai arah, melempar bola ke berbagai arah dengan bola sedang sampai kecil, melempar bola ke sasaran seperti huruf, angka, atau gambar, menangkap bola dari berbagai arah, bermain bulutangkis, mencoret-coret berbagai bentuk geometri untuk mengembangkan otak kiri dan kanan, serta menggerakkan kedua tangan dan kaki dengan memukul drum mainan.
4.Usia 5-6 tahun
Pada usia 5-6 tahun, hampir seluruh gerak kinestetiknya dapat dilakukan dengan efisien dan efektif. Gerakannya pun sudah terkoordinasi dengan baik. Namun, seperti diungkapkan Bambang, anak kelompok usia ini lebih menyukai permainan yang tidak banyak melibatkan motorik kasar. Mereka lebih menyukai permainan yang menggunakan kemampuan berpikir seperti bermain puzzle, balok, bongkar pasang mobil, serta mulai tertarik pada games di komputer maupun play station.

B.Perkembangan dan Stimulus Bahasa dan Bicara
Yang dimaksud stimulasi perkembangan kemampuan berbicara dan bahasa pada balita adalah pemberian rangsangan pada anak dari dari sejak lahir dan dilakukan setiap hari yang diberikan oleh orang sekitarnya, termasuk orangtua, pengasuh, teman sebaya dan sebagainya yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berbicara dan bahasa pada balita. Oleh karena kemampuan berbicara dan bahasa merupakan hasil dari belajar melalui peniruan yang didengar anak dari orang lain, terutama orangtuanya (Yusuf, 2005) dan menurut Taningsih (2006) masa balita adalah usia yang paling tepat untuk mengembangkan kemampuan bicara dan bahasa.
Melatih bicara anak sejak dini akan membantu kemampuan komunikasi anak. Setiap apa yang dikatakan oleh orang tua, akan tersimpan di memori otak anak dan suatu saat anak akan meniru apa yang dia perolehnya, baik itu yang diajarkan orang tua maupun oleh orang-orang disekitarnya (http://TipsKeluarga.com, 2009). Dan Felicia Irene (http://blogsome.com, 2006) mengatakan, “Jika seorang anak kehilangan kesempatan untuk belajar di usia dini, maka perkembangan otaknya pun akan berlangsung di bawah rata-rata. Kemampuan logika, bahasa, dan menyelesaikan masalahnya menjadi terbatas”. Sehingga sangat penting bagi seorang anak untuk mendapatkan stimulasi sedini mungkin yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan bicara dan bahasanya.
Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa masa balita merupakan masa yang sangat penting untuk diberikan stimulasi pada kemampuan bicara dan bahasanya.



Perkembangan bahasa dan bicara pada balita normal menurut jenjang usianya adalah sebagai berikut:
Usia
Perkembangan
6 – 12 bulan
- Mulai menyebut “da-da” – Membentuk kalimat bahasa bayi dengan ritme berbeda
12 – 18 bulan
- Di usia ini si kecil mulai menghasilkan sebuah kata yang sesungguhnya, jelas dan dapat dipahami
2 Tahun
- Menguasai kurang lebih 50 kosa kata - Mulai dapat membuat kalimat tanya - Kata yang diucapkan dapat dipahami semua orang - Kata yang diucapkan dapat dipahami semua orang
3 Tahun
- Mulai membuat kalimat lengkap (subyek-predikat-objek) - Penguasaan kosa kata semakin meningkat - Sudah bisa menyebut “ng”, “tr”, “kr” dan yang lebih sulit
Metode Stimulasi Kemampuan Bicara dan Bahasa pada Balita
Menurut Dr. Miriam Stopard, Depkes RI, Laura Dyer dan Benny Ciptaraja, dapat disimpulkan bahwa metode stimulasi kemampuan bicara dan bahasa balita sebagai berikut :
1.Fase Pre-Linguistik (0-12 bulan)
a.Melatih organ bicara
1)Menghisap, menjilat, tertawa, menyemburkan gelembung dan mengunyah.
2)Latih pengucapan /p/, /b/, /m/ serta huruf vokal, seperti /baba/, /bibi/, /mimi/, /papa/, /mama/. Ucapkan dengan jelas, tidak terburu-buru, serta perlihatkan gerak lidah dan bibir dengan jelas.
b.Mengajak berbicara
1)Jangan membiarkan bayi ketika menangis.
2)Selalu mengajak berbicara sesering mungkin setiap ada kesempatan mengenai aktivitas yang sedang dilakukan, benda-benda sekitar dan sebagainya, walaupun bayi belum bisa mengucapkan, tetapi pemahaman bayi akan bertambah.
3)Tanggapi segala bentuk suara yang dikeluarkan bayi saat diajak berbicara.
4)Ketika anak mulai mengucapkan kata-kata yang belum jelas, ikuti kata-katanya dengan mengucapkan yang benar.
c.Mengenalkan berbagai suara
1)Merangsang bayi untuk mencari sumber suara dengan membunyikan lonceng di sampingnya.
2)Memperdengarkan berbagai suara seperti musik, orang bicara, suara dari kerincingan, mainan yang dipencet atau bel.
3)Menyanyikan lagu dan bacakan sajak anak secara berulang, pengulangan membantunya belajar.
d.Membacakan buku
1)Perlihatkan buku bergambar hanya berisi gambar-gambar berwarna untuk menarik perhatian bayi saat ia berusia 6 bulan.
2)Tunjuk sebuah gambar dan sebutkan namanya ketika bayi melihatnya, makin sering mendengar nama suatu objek, makin besar akan dapat mengucapkannya.

2.Fase Holofrase (12-18 bulan)
a.Melatih organ bicara
1)Awal tahun pertama, latih pengucapan seperti /ua/, /ui/, /oe/, atau /wa/, /au/, /ai/, /ae/, /ao/, /ha/, /hi/, /ho/, /hai/, /bai/, /mau/, /bau/ dan sebagainya.
2)Sekitar 15 bulan, latih pengucapan /n/, /d/ dan /t/, seperti /nana/, /nene/, /tata/, /dudu/, /dada/, /dede/ dan sebagainya
3)Tunjukkan posisi lidah jika pengucapan tidak juga sempurna.
b.Mengajak berbicara
1)Doronglah untuk menunjuk sesuatu dan menyebut namanya.
2)Ajari kata benda, kata sifat dan kata kerja dengan menyebut nama benda yang sedang diperhatikannya karena lebih mudah memahami kata kerja lebih awal dibandingkan mengucapkannya.
3)Ajak bermain sambil berbicara dengan menggunakan boneka dan telepon-teleponan.
c.Mengenalkan berbagai suara
1)Mengenalkan berbagai suara, seperti suara binatang, alat musik atau kendaraan kemudian rangsang anak untuk mengikuti suara-suara tersebut.
2)Ajari sajak dan lagu mengenai anggota tubuh, seperti “Kepala, Pundak, Lutut, Kaki”. Nyanyikan lagu itu secara perlahan dan berikan waktu bagi anak untuk menunjukkan bagian tubuh yang dimaksud.
d.Membacakan buku
1)Rangsang anak untuk mengulang kembali nama gambar yang disebutkan/ditunjukkan.
2)Membacakan buku cerita bergambar pada anak sesering mungkin dan mengulang cerita yang sama dalam beberapa kali.
3)Perpanjang rentang perhatian anak dengan memberikan makanan ringan dan berikan anak benda-benda, seperti boneka, mainan binatang, yang berhubungan cerita untuk dipegang.
3.Fase Kalimat dengan 2 Kata (18-24 bulan)
a.Melatih organ bicara
1)Latih pengucapan /k/, seperti /aku/, /kake/, /kuku/, /buku/, /paku/, /bisu/, /kakak/ dan sebagainya.
2)Jika pengucapan /k/ sudah fasih, latih pengucapan /g/, seperti /tiga/, /tigabelas/, /tigapuluh/, /tigapuluh tiga/ dan latihan bisa digabung dengan bunyi nasal /ng/, misalnya /nangis/, /anjing/, /kucing/, /gong/, /gang/, /agung/, /es agogo/ dan sebagainya.
b.Mengajak berbicara
1)Kenalkan anak pada perbendaharaan kata yang menerangkan sifat atau kualitas (anak baik, nakal, pintar, dll), keadaan/peristiwa yang terjadi (sekarang, besok, kemarin, dll) serta kata-kata yang menunjukkan tempat (di sini, di atas, di bawah dll).
2)Ajari anak konsep berhitung hingga angka dua dengan memperlihatkan pada anak bagaimana cara menghitung mainanya.
3)Rangsang anak agar bercerita tentang apa yang dilihatnya/dialaminya.
4)Hindari untuk meminta anak menyebutkan kata-kata tertentu atau suatu kalimat untuk pamer kepada keluarga atau teman.
c.Mengenalkan berbagai suara
1)Membuat suara-suara, seperti alat musik, rangsang anak agar menirukan suara tersebut.
2)Perlihatkan pada anak bagaimana bernyanyi, bertepuk tangan dan mengikuti nada ketika mendengarkan music.
d.Membacakan buku
1)Ketika melihat buku bersama, mungkin akan kembali ke halaman sebelumnya dan menyebutkan nama binatang kesayangannya, maka ikuti topik pembicaraannya.
2)Membacakan buku cerita setiap hari dan rangsang anak untuk menceritakan gambar yang ada di buku cerita.
3)Kenalkan mengenai konsep warna yang terdapat dalam buku.
4.Usia 2-3 Tahun
a.Melatih organ bicara
1)Latih pengucapan /l/, seperti /lama/, /lalu/, /bulu/, /palu/, /malu/, /telah/, /lain/, /lupa/, /lelah/, /bolu/ dan sebagainya.
2)Waktu yang tepat untuk melatih bunyi lateral adalah ketika anak berkata “Pelmen”, yang dimaksudnya adalah “Permen”.
b.Mengajak berbicara
1)Ajari anak agar dapat menyebutkan nama lengkapnya.
2)mengenalkan nama-nama benda-benda disekitarnya dan minta anak untuk menyebutkan kembali di lain waktu.
3)Bicarakan tentang kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pada hari itu untuk meningkatkan kemampuan mengingat anak.
c.Mengenalkan berbagai suara
Perkenalkan beberapa bunyi alat musik dan bicarakan tentang perbedaan bunyi yang dihasilkannya.
d.Membacakan buku
1)Ceritakan yang lebih kompleks secara berulang agar anak dapat mengingatnya.
2)Rangsang anak untuk menceritakan kembali buku yang pernah dibacakan.
3)Rangsang anak untuk mencocokkan warna dan menyebutkan beberapa warna pokok.
e.Mengenalkan pada teman seusianya
Kenalkan dengan anak-anak seusianya dan dilibatkan pada lingkungan sosial yang bisa memfasilitasi kemampuan sosial dan berkomunikasinya, seperti PAUD, BKB, play group, taman bermain, dan sebagainya.
f.Mengenalkan acara televise
1)Kenalkan balita pada acara televisi yang dapat meningkatkan kemampuan bicara dan bahasanya, seperti Sesame Street yang selalu mengenalkan konsep bahasa.
2)Waktu menonton tidak melebihi 2 jam setiap harinya.
3)Selalu mendampingi anak ketika menonton.
5.Usia 3-4 Tahun
a.Melatih organ bicara
1)Latih pengucapan /s/, seperti /pipis/, /pus/, /bis/, /pas/, /mas/, /es/ dan sebagainya.
2)Jika pengucapan /s/, sudah fasih, latih pengucapan /c/, seperti /cici/, /cucu/, /caca/ dan sebagainya.
b.Mengajak berbicara
1)Rangsang anak untuk menceritakan tentang dirinya dan rangsang ia agar menggunakan kalimat lebih dari 2 kata.
2)Mengajaknya mendiskusikan tentang sesuatu hal yang sangat sederhana.
3)Untuk meningkatkan kemampuannya dalam memahami kalimat, berbicara pada anak dengan kalimat yang panjang dan kompleks.
c.Mengenalkan berbagai suara
1)Bermain sambil bersajak menyenangkan untuk anak yang sudah memahami dan mampu mengubah lirik lagu atau kata-kata sajak.
2)Perkenalkan anak pada huruf alfabet dengan menggunakan nyanyian.
d.Membacakan buku
1)Berikan hadiah sikap baik anak dengan buku daripada permen atau mainan.
2)Membacakan buku setiap hari.
3)Rangsang anak untuk menceritakan kembali buku yang pernah dibacakan.
e.Permainan sosial
1)Libatkan dalam permainan imajinasi, seperti memanfaatkan peralatan rumah tangga biasa, lalu dorong ia untuk membayangkan segala macam benda yang dapat dibuat dengan barang-barang tersebut.
2)Ajarkan anak untuk bermain peran, dengan cara memberikan beberapa pakaian tua kepada anak dan biarkan ia bermain dengan mencoba mengenakannya dan bergaya.
6.Usia 4-5 Tahun
a.Melatih organ bicara
Latih pengucapan /r/, seperti /beri/, /kue mari/, /roda/, /permen/ dan sebagainya. Latihan diberikan pada awal tahun keempat bahkan hingga usia 5 tahun.
b.Mengajak berbicara
1)Libatkan anak dalam berbagai aktivitas dan ajak berdiskusi mengenai kegiatan tersebut serta rangsang agar anak menggunakan kalimat yang lebih kompleks.
2)Mengenalkan angka hingga 10.
3)Rangsang agar anak menceritakan tentang masa kecilnya atau kejadian yang pernah dialaminya di masa lalu.
4)Rangsang anak untuk bercerita tentang pemikiran imajinasinya.
c.Membacakan buku
1)Membacakannya setiap hari dan rangsang anak untuk melanjutkan isi cerita dengan imajinasinya.
2)Rangsang anak untuk menceritakan kembali buku yang pernah dibacakan.
d.Permainan social
1)Biarkan anak melakukan permainan kelompok bersama teman sebayanya.
2)Di usia ini, anak sudah siap menghadapi pengalaman baru ketika mereka mulai bersekolah.
Dalam menerapkan stimulus, baik stimulus motorik kasar dan halus maupun stimulus bahasa dan bicara, perlu diperhatikan Prinsip Stimulasi Perkembangan yaitu:
a.Dilandasi rasa cinta dan kasih sayang;
b.Orang-orang terdekat dipakai sebagai model;
c.Dilakukan dengan cara bermain, bervariasi, menyenangkan, tanpa paksaan dan hukuman;
d.Dilakukan setiap hari, secara bertahap dan berkelanjutan yang mencakup 4 aspek kemampuan dasar;
e.Dilakukan sesuai dengan kelompok umur anak;
f.Gunakan alat bantu yang sederhana, aman dan mudah didapat;
g.Beri kesempatan yang sama pada anak perempuan dan laki-laki;
h.Selalu beri pujian, bila perlu beri hadiah atas keberhasilannya.
Orang tua menjadi kunci penting dalam pertumbuhan dan perkembangan sang buah hati di masa depan. Jangan biarkan golden period sang buah hati terlewatkan begitu saja. Optimalkan dan manfaatkan sebaik-baiknya.

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Usia paling kritis anak adalah sampai dengan usia anak lima tahun. Usia emas atau Golden Age berada pada masa paling kritis yaitu usia 0 sampai 2 tahun, karena 80% pertumbuhan otak terjadi pada masa usia emas tersebut. Pada tahap ini anak harus diberikan intervensi-intervensi yang tepat agar otak anak bisa berkembang dengan optimal. Intervensi yang diberikan bisa dalam bentuk stimulasi-stimulasi. Stimulasi yang diberikan harus merangsang 4 aspek kemampuan dasar, yaitu: Kemampuan Gerak Kasar (GK) ; Kemampuan Gerak Halus (GH) ; Kemampuan berbicara dan bahasa ; dan Kemampuan bersosialisasi dan kemandirian. Dalam melakukan stimulasi sebaiknya harus memperhatikan prinsip stimulasi perkembangan.
B.Saran
Orang tua seharusnya lebih memperhatikan perkembangan anaknya saat masih dalam usia kritis, terlebih lagi saat dalam usia emas atau golden age. Orang tua bertanggung jawab atas perkembangan anaknya pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, orang tua harus berhati-hati dalam mendidik anaknya serta dalam melakukan intervensi harus benar-benar tepat. Jika stimulasi yang diberikan tidak tepat maka akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa untuk memperbaiki pengaruh stimulasi tersebut pada usia selanjutnya. Untuk itu manfaatkan masa usia kritis anak atau golden age, agar anak bisa berkembang seoptimal mungkin kearah yang positif.


DAFTAR PUSTAKA
Hardiyanto, Radix. dr. 2010. Pertumbuhan dan Perkembangan Balita dan APRAS. Dipaparkan saat Sosialisasi DDTK Kepada Para Kader Puskesmas di Kota Surabaya
http://www.infodokterku.com/
http://www.episentrum.com/artikel-psikologi/perkembangan-motorik-anak-usia-dini/
http://www.scribd.com/doc/20341624/Stimulasi-Deteksi-Intervensi-Dini-Tka
http://dokteranakku.com/?p=84
http://pondokibu.com/parenting/tumbuh-kembang-anak/tahapan-perkembangan-motorik-anak/
http://www.surabaya-ehealth.org/dkksurabaya/berita/deteksi-dini-tumbuh-kembang-anak-%E2%80%9Cmilestone%E2%80%9D-perkembangan-balita-dan-anak
http://poesimut.blogspot.com/2010/01/stimulasi-bicara-dan-bahasa-pada-balita.html
Di unduh pada hari Rabu, 29 September 2010, pukul 19;14

Evaluasi Psikologi Anak (USB)

BAB I PENDAHULUAN
Evaluasi berkebutuhan khusus ini disajikan dalam delapan bahasan dengan keterangan tambahan mengenai berbagai alat tes yang dibahas secara terpisah pada lima bab terakhir.
Bab I berisi penjelasan mengenai konsep dasar evaluasi psikologi, persyaratan evaluasi psikologi, tujuan evaluasi itu dilaksanakan, berikut klasifikasi dari evaluasi psikologi itu sendiri. Pada bab ini memberikan pada penjelasan mengenai apa itu psikodiagnistik, fungsi dan kegunaannya, oleh siapa saja psikodiagnostik berhak dilaksanakan, sejarah singkat, serta berbagai isu mengenai psikodiagnostik.
Bab II berisi sajian bahasan ruang lingkup psikologi. Di dalamnya, selain terdapat pembahasan mengenai dalam setting apa saja tes psikologi dapat digunakan, paparan lain berisi jenis tes psikologi yang terdiri dari tes inteligensi tes kecakapan, tes prestasi, tes kreativitas, tes kepribadian, tes minat dan bakat, tes perilaku, tes neuro-psikologi, dan tes bagi populasi berkebutuhan khusus.
Bab III secara khusus memfokuskan kajiannya pada berbagai isu mengenai inteligensi. Pembahasan mengenai hakikat inteligensi menjadi bagian pembuka dari bab ini, dilanjutkan dengan latar belakang dilakukannya studi mengenai inteligensi oleh para ahli yang dimulai oleh Alfred Binet. Pada bab ini, juga memaparkan berbagai faktor yang turut mempengaruhi dalam menentukan inteligensi seseorang. Teori dan model inteligensi yang dikemukakan para ahli di seperti willian stern, Sperman Thomson, Thorndike, dan Thurstone juga menuju bab lain yang secara spesifik akan membahas berbagai alat tes inteligensi secara terpisah satu dan lainnya.
Pada bab V akan dibahas mengenai tes menggambar orang (Draw A Man/DAM) yang diperkenalkan oleh Florence Goodenough. Pada bab ini, selain memuat paparan mengenai seperti apa alat tes ini bekerja mengukur taraf inteligensi seseorang, juga mencoba berbagai dengan para subjek dan wacana lain terkait tes menggambar orang ini.
Pada bab VI dibahas mengenai dua seri dari tes PM yaitu The Standard Progressive Matrices (SPM) dan Coloured Progressive Matrices (CP). Seperti pada bab ini turut dijelaskan mengenai bagaimana tes ini dipresentasikan/disajikan kepada subjek, prinsip-prinsip konstruksi, berbagai contoh soal yang merupakan saduran penulis dari soal aslinya kepada pembaca tentang model soal yang menjadi bagian dari alat tes ini. Instruksi, standarisasi, evaluasi jawaban, dan strategi interpretasi tes PM juga menjadi bagian yang akan melengkapi penjelasan pada bab VI ini.
Pada bab VII, menguraikan mengenai tes kematangan masus sekolah atau Nijmegse Schoolbekwaamheids Test (NST) yang Coffie. Alat tes ini adalah salah satu yang dianggap sebagai yang culture free atau bebas pengaruh budaya.
Akhirnya pada bab VIII sebagai bab terakhir, menjelaskan mengenai skala kematangan sosial vineland yang digagas oleh Edgar A. Doll seperti pada pembahasan sebelumnya, bab ini juga dibuka dengan sebuah pendahuluan yang mengantarkan para pembaca pada pemahaman mengenai seperti apa alat tes kematangan sosial ini. Kegunaan dan bentuk skala dari vineland sosial maturity scale, instruksi umumnya, cara scoring berikut contohnya, bentuk skala, periode usia, katagori bentuk skala, dan panduan wawancara bagi anak.

BAB II KONSEP DASAR EVALUASI PSIKOLOGI
  1. Perngertian
Istilah evaluasi merupakan istilah yang sering dipergunakan dalam dunia pendidikan. Istilah lainnya yang sering dipergunakan adalah tes, dan pengukuran. Istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang hampir sama, namun tetap memiliki berbagai perbedaan. Ada evaluasi yang mempergunakan tes secara intensif sebagai pengumpulan data. Tetapi harus disadari bahwa tes bukanlah evaluasi, bahkan bukan pula pengukuran. Tes lebih sempitrunag lingkupnya dibanding pengukuran, dan pengukuran lebih sempit dibandingkan dengan evaluasi. Dalam penulisan ini yang dipergunakan adalah evaluasi dengan pertimbangan lebih luas daripada istilah tes dan pengukuran.
Secara umum evaluasi psikologi bertujuan mengevaluasi perbedaan-perbeaan antara individu-individu atau antara reaksi individu yang sama situasi yang berbeda. Secara khusus evaluasi psikologi dilakukan dengan alasan-alasan :
    • Perbedaan perorangan; banyak perbedaan tindakan dan penguasaan antara manusia yang normal.
    • Digunakan untuk mengklasifikasi peserta didik; dengan acuan pada mereka untuk bisa mengambil manfaat dari berbagai jenis pelajaran sekolah yang berbeda-beda.
    • Masalah retardasi mental; Binet dan simon (1905) berhasil menemukan konsep mental age, yaitu suatu konsep yang dapat menentukan derajat kemampuan kecerdasan sebagai kapasitas dasar dalam belajar.
    • Masalah seleksi dan klasifikasi sumberdaya manusia; untuk mengetahui klasifikasi individu sesuai dengan bidang yang akan digeluti terutama dalam penerimaan karyawan, penunjukan tugas, dan promosi khususnya pekerja-pekerja tingkat tinggi.
    • Penggunaan dalam konseling; hasil bimbingan psikologi dapat dipergunakan untuk kepentingan bimbingan dan menyangkut rencana pendidikan serta pekerjaan emosi pengembangan diri dapat diketahui melalui skor-skor evaluasi psikologi.
    • Hasil evaluasi psikologi dapat digunakan oleh guru dalam rangka penempatan anak berkebutuhan khusus sehingga mereka dapat memperoleh lingkungan pendidikan yang sesuai dengan potensinya.
  1. Klasikal Evaluasi Psikologi
Dipandang dari nilai, sifat dan penggunaannya evaluasi psikologi dapat diklasifikasikan berdasarkan :
    1. Objek yang dievaluasi; terdiri dari evaluasi untuk individu dan evaluasi untuk kelompok. Antara evaluasi individu dan kelompok ini memiliki perbedaan-perbedaan dalam bentuk maupun butir soalnya.
    1. Evaluasi untuk individual; pelaksaan evaluasi ini untuk kelompok.
    2. Evaluasi untuk kelompok; evaluasi ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis, dimana hasil evaluasi dapat mengaklasifikasi tingkat intelektual umum dari orang yang dievaluasi.
    1. Cara evaluasi; dilihat dari cara evaluasinya dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu :
    1. Evaluasi aternatif (Ya/Tidak)
    2. Evaluasi gradual (1, 2, 3, 4)
    3. Cara penyelesaian, yaitu verbal dan non-verbal
    1. Materi evaluasi yang berhubungan dengan ini dan waktu yang disebutkan, yaitu speed test dan power test.
  1. Psikodiagnostik
    1. Pengertian Psikodiagnostik
Psikodiagnostik merupakan salah satu cara dalam bidang psikologi yang menjadi alat bantu utama untuk mencari pengertian tentang tingkah laku manusia. Memahami tingkah laku manusia dalam dalam kondisinya yang normal maupun abnormal bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan seperangakat persyaratan teoritik, metodik, dan keterampilan teknik pemeriksaan psikologi sebelum calon psikolog dapat dikatakan ”mahir” atau terampil dalam psikodiagnostik.
Psikodiagnostik adalah suatu metode yang dipakai untuk dapat menentukan kelainan-kelainan psikis para penderita agar dapat diberikan pertolongan yang lebih tepat. Psikometrik adalah bidang ilmu yang mempelajari pengukuran fungsi-fungsi dalam kapasitas psikologi individu. Psikotest adalah prosedur untuk mengukur fungsi-fungsi dan kapasitas psikologi individu.
Psikodiagnostik merupakan suatu cara untuk menegkkan diagnosa (dalam rangka pemeriksaan) yang akhirnya menjadi suatu diagnosa kepribadian. Dalam sejumlah literatur bahasa inggris, istilah psikodiagnostik diidentikan dengan personality assessment. Psikodiagnostik muncul pertama kali sebagai metode psychodiagnostic, pada tahun 1921, yang selanjutnya dikenalkan sebagai tes Rorschach. Metode ini berkembang dalam bidang klinik (psikiatris) sehingga psikodiagnostik pada saat itu diartikan sebagai suatu metode untuk menilai adanya kelainan-kelainan psikis pada seorang pasien mental (diagnosa).
James Drever (1971), dalam a dictionary of psychology memberi batasan sebagai berikut : “Psychodiagnostic the attempt to features, as in psysiognomy, cranilogy, graphology, study of voice, gait, etc.”
Dari pengertian yang dikembangkannya tampak bahwa psikodiagnostik memasyaratkan suatu media Bantu melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku atau gerak-gerak dalam konstitusi tubuh seseorang untuk memberi penilaian atas diri individu. Istilah psikotes akan lebih tepat jika diubah dengan pemeriksaan psikologik.
Psikotes atau psikoteknik seolah-olah mengandung arti seseorang melalui alat-alat tes pemeriksaan. Dengan alat-alat teknik kita memang dapat mengetahui segala hal yang berkaitan dengan peralatan tersebut atau dapat menguji suatu benda. Akan tetapi berbeda dengan manusia, sangta sulit untuk mengetahui begitu saja apa isi manusia, walaupun untuk itu sudah digunakan alat untuk menjaring dan mengukurnya misalnya tidak mungkin besarnya emosi seseorang dapat diukur.
Melalui pemeriksaan tersebut, diperoleh gambaran tentang diri seseorang dan berguna untuk menegakkan suatu diagnosa mengenai individu tersebut. Hal inilah yang dipelajari dalam lingkup psikodiagnostik.
    1. Kegunaan Psikodiagnostik
Untuk sampai pada deskripsi kepribadian, digunakan beberapa teknik dan prosedur yang sistematis yang bertujuan untuk mmperoleh data yang objektif.
Teknik-teknik tersebut antara lain, teknik wawancara observasi, analisa dokumen pribadi (otobiografi, biografi, buku harian, surat pribadi dan sebaginya), dan tes psikologik.
Terdapat lima kelompok profesi yang menggunakan psikodiagnostik, yaitu 1) psikolog, 2) psikiater, 3) petugas rekrutment dalam bidang industri dan organisasi (personel worker), 4) petugas social, 5) petugas bimbingan dan konseling (dibidang pendidikan). Adapun kenggunaannya terdapat dalam setting berikut :
      • Clinikal setting, misalnya rumah sakit, pusat kesehatan mental atau klinik-klinik konsultasi psikologis. Fokus penggunaannya adalah pada usaha mendeteksi gangguan psikis yang dialami individu (klien), serta mengukur kemampuan/kekuatan pribadi yang dimiliki individu sehingga dapat diterapkan pola terapi/treatment yang efektif baginya.
      • Legal setting, misalnya dipengadilan, lembaga permasyarakatan, dan tempat rehabilitasi lainnya yang berkaitan dengan masalah kriminal dan kejahatan, seperti pusat rehabilitas penderita narkoba dan rehabilitas anak-anak.
      • Education and Vocational Guidance, misalnya di sekolah, universitas atau pusat pelatihan, pusat bimbingan karier bidang pengembangan studi kerja.
      • Education and Vocation Selection, misalnya untuk rekrutmen di perusahaan/organisasi atau bidang pekerjaan lainnya. Untuk penentuan bidang studi (jurusan studi yang dipilih) dan sebagainya.
      • Research setting, yakni untuk kepentingan pengembangan ilmu dan pengembangan teknik serta metode psikodiagnostik. Biasanya dalam lingkup akademik/perguruan tinggi (Janis, 1969).
    1. Sejarah Singkat Psikodiagnostik
Rangkuman sejarah awal perkembngan Psikodiagnostik
2200 S.M.
:
Pemerintah kerajaan Cina mulai mengadakan tes seleksi penerimaan pegawai baru.
1862
:
Wilhelm Wund menciptakan pendulu untuk mengukur kecepatan berfikir.
1884
:
Francis Galton mengadminsitrasi test battery pertama kali untuk ribuan orang di internasional Health Exhibit.
1890
:
James Mc Keen Cattel menggunakan istilah mental di dalam menggunakan alat test battery yang diciptakan Galton.
1901
:
Clark Wissler menemukan fakta bahwa Brass Instrument tidak memiliki korelasi dengan pencapaian nilai akademik seorang individu.
1905
:
Binet dan Simon meneukan tes kecerdasan modern pertama.
1914
:
Stern memperkenalkan konsep IQ
1916
:
Lewis Terman merevisi alat tes Binet dan Simon. Lahirlah Stanfor dan Binet. Revisi alat tes ini telah dilakukan pada tahun 1937, 1960 dan 1986.
1917
:
Robert Yerkes menciptakan Army Alpha dan Army Beta untuk merekrut sukarelawan perang dunia I
1917
:
Roberth Wooworth menciptakan Personel Data Sheet, Alat tes kepribadian yang pertama.
1920
:
Rorschach Inkblot ditemukan.
1921
:
Psykological Comporation, penerbit utama alat-alat tes psikologi didirikan oleh Cattel, Thorndike, dan Woodworth.
1927
:
Edisi pertama dari Strong Vocational Interest Blank diterbitkan
1939
:
Wechler-Bellevue Intelligence Scale diterbitkan. Revisi terhadap alat tes ini dilakukan pada tahun 1955, 1981, dan 1997.
1942
:
Minnesota Multiphasic Personality Inventory diterbitkan
1949
:
Wechsler Intelligence Scale untuk anak-anak ditentukan. Revisi terhadap alat tes ini dilakukan pada tahun 1974 dan 1991.

    1. Isu Seputar Psikodiagnostika
Alat-alat tes psikologi yang digunakan untuk kepentingan psikodiag-nostika seringkali diasumsikan sebagai netral dan objektif. Akan tetapi seringkali sebagaian orang atau kelompok memandang penggunaan alat-alat tes dalam psiko-diagnostik secara skeptis. Kelompok ini memandang bahwa lat-ala psikologi sarat dengan nilai atau kepentingan satu kelompok.
Kontroversi seputar alat tes sendiri dimulai dari perbedaan rata-rata IQ antara berbagai kelompok ras dan etnis. Sebagai contoh, skore IQ orang Amerika keturunan Afrika secara rata-rata 15 poin di bwah skor IQ rata-rata orang Amerika kulit putih. Peredaan point ini dapat diturunkan sampai 7 ke point 12 ketika latar belakang sosial ekonomi diperhitungkan. Perbedaan skor membawa implikasi dalam kehidupan sosial.

Definisi Teknis dari Tes Bias
Dari perspektif teknik dan statistik, sebuah alat tes dikatagorikan sebagai bias ketika terjadi bias dalam 3 aspek yaitu bias dalam content validity, bias dalam predictive atau criterionrenalited validity dan bias dalam construc validity.
      • Bias dalam content validity
Bias dalam content validity terjadi ketika item atau subtest dalam sebuah alat tes lebih sulit untuk satu kelompok tertentu dibandingkan untuk kelompok lain ketika kemampuan dasar mereka dianggap konstan.
      • Bias dalam predictive atau criterion-related validity
Bias dalam predictive atau criterion-related validity terjadi ketika sebuah tes tidak memprediksikan kriteria yang relevan sama terhadap orang dari berbagai kelompok populasi masyarakat.
      • Bias dalam construc validity
Bias dalam construc validity terjadi ketika sebuah alat tes mengukur trait atau konstruk yang dominan untuk satu kelompok masyarakat tertentu.

Dari ketiga aspek tadi, baik secara teknis maupun statistik alat-alat tes psikologi yang ada, baik itu berupa alat tes kecerdasan alat tes bakat, maupun alat tes kepribadian, secara umum tidak menunjukkan kriteria bias terhadap satu kelompok masyarakat tertentu.
  1. Kuatifikasi dan Objektivitas dalam Pemeriksaan Psikologi
    1. Tes Psikologi
Istilah tes (berasal dari kata testum = mangkuk, untuk menguji apakah dalam campuran logam terdapat kadar emas atau perak, kouwer, 1952) mulai diperkenalkan pertama kali oleh James McKeen Cettel pada tahun 1890 (Sundberg, 1977), ketika ia memperkenalkan inilah mental tes untuk menyelidiki aspek-aspek inteligensi.
Tes adalah suatu metode untuk menjaring data berupa perilaku individu, yang dimaksud dengan situasi yang baku adalah sedapat mungkin situasi tes itu sama untuk setiap orang yang dites.
Beberapa manfaat penggunaan tes adalah diperolehnya efesiensi dalam waktu untuk mengetahui gambaran kepribadian seseorang dan hasil-hasilnya yang dapat dipadankan dengan hasil tes lain/dikomparasikan (Kouwer, 1952).

Menurut Choca (1980), secara tipikal penggunaan tes dalam pemeriksaan psikolog melibatkan dua tugas yaitu :
      • Memperoleh informasi tentang subjek malalui tes psikologi
      • Berbagi informasi dengan ahli/profesi lain yang terkait
Di dalam suatu assessment apa yang diperoleh dari situasi tes adalah suatu produk yang komplek dan dipengaruhi banyak faktor antara lain :
      • Karakteristik rangsangan tes
      • Karakteristik situasi tes
      • Karakteristik dari individualnya
Groth-Marnat (1984), menguraikan pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan bila pemeriksaan akan menggunakan tes, mengingat cukup banyak permasalahan yang dapat timbul sehubungan dengan penggunaan dan hasil evaluasi tes itu. Pertimbangan itu adalah sebagai berikut :

Orientasi Teoritik
      • Apakah pemeriksaan memahami konstruk teoritik dari hal yang akan diukur oleh tes tersebut?
      • Apakah item tes itu sudah mengarah pada deskripsi teoritik itu?
Pertimbangan Praktis
      • Bila tes itu menuntut kemampuan pemahaman membaca pada testee, apakah kemampuan testee sudah sesuai dengan taraf yang dituntut oleh tes itu?
      • Berapa banyak/lama sepantasnya tes itu diberikan sesuai dengan tujuan pemeriksaannya?
      • Apakah dibutuhkan pelatihan keterampilamn khusus untuk administrasi tes? Bila ya, bagimana hal itu dapat dipenuhi?
Standarisasi
      • Apakah populasi yang akan dites, sesuai dengan populasi ketika tes itu ditandarisasikan?
      • Apakahukuran standarisasi dari sampel sudah tepat?
      • Apakah ada norma kelompok yang spesifik?
Reabilitas
      • Apakah tes itu sudah cukup terandal? (umumnya 0,9 untuk tujuan pemeriksaan klinis 0,70 untuk tujuan riset)
      • Apakah implikasi dari sifat (trait) yang relatif konstan, metode estimasi untuk memperoleh reliabilitas dan format tes terhadap reliabiitas tes itu?
Validitas
      • Apakah kriteria dan prosedur yang digunakan untuk mencari validitas tes itu?
      • Apakah tes sudah dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga menjadi alat ukur yang akurat?
      • Apakah te situ dapat mengahasilkan usuran yang akurat tentang konteks dan tujuan pemeriksaan?
    1. Fungsi dari tes
Menurut Kouwer (1952) terdapat tiga fungsi dari tes, yaitu :
        1. Fungsi Meramalkan
Berdasarkan hasil tes kerapkali dimungkinkan untuk mengadakan suatu prognosa, prediksi tentang sikap, tingkah laku subjek di kemudian hari. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa materi tes harus benar-benar objektif dan dapat dikuantifikasikan. Validitasnya dan reliabilitas dari tes harus dapat menaruh kepercayaan atau hasil prediksi itu.
        1. Fungsi Menggambarkan
Dalam fungsi ini, hasil tes digunakan untuk medeskripsikan kepribadian seseorang untuk tujuan-tujuan yang telah diterapkan. Dalam hal ini, institusi dan empati memegang peranan yang penting agar kita dapat mendeskripsikan aspek-aspek kepribadian subjek. Sifat pemeriksaannya tidaklah rasionl seperti halnya fungsi meramal. Juga bukan hanya kuantitatif, tetapi yang penting adalah pengertian yang sedalam-dalamnya tentang subjek yang diperiksa. Persyaratan dituntut dari pemeriksaan ini memang lebih barat daripada fungsi meramalkan.
        1. Fungsi Menemukan Diri Sendiri
Fungsi ini mencoba memberi suatu pengertian yang mendalam tentang gambaran kepribadian. Hasil tes disini dibicarakan bersama dengan subjek sehingga subjek bisa memperoleh gambaran yang cukup jelas mengenai dirinya, sifat-sifatnya, kelemahan-kelemahannya, potensi yang di miliki dan sebaginya.
    1. Syarat tes yang baik
Memalui tes akan diperoleh sejumlah informasi tentang subjek informasi yang didapat tentu saja yang objektif, relevan dan akurat. Untuk menggali semua informasi ini, dibutuhkan tes yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, yakni tes harus :
  1. Valid/sahih
Valid adalah suatu ukuran untuk memprediksikan kriterium yang telah ditentukan juga merupakan suatu kekuatan hubungan antara tes dan merupakan suatu kekuatan hubungan antara tes dan kriterianya. Validitas sering pula didefinisikan sebagai :”ukuran yang benar-benar mengukur apa yang akan diukur” atau sejauh mana tes mengukur apa yang akan dimaksudkan untuk diukur. Terdapat 3 jenis tes validitas tes menurut APA (1974), yaitu :
        1. Contetent Valivity
Disini veliditas diartikan sebagai seberapa jauh tes mengungkapkan pengetahuan (kemampauan) subjek tentang suatu materi tertentu.
        1. Criterion Validity
Validasi jenis ini membicarakan relasi dari hasil tes dengan kriterium yang telah diterapkan.
        1. Construc Validity
Validasi ini bertolak dari konstruksi teoritik dan definiki suatu tes, yakni meninjau bhubungan antara hasil tes dengan konsep teoritik yang melandasinya.
  1. Reliabel/teradal
Pengertaian reliabilitas suatu tes berkaitan dengan konsistensi, reproduksibilitas dan ketelitian tes tersebut. Kalau validitas adalah hubungan antara hasil tes dengan suatu kriterium luar, maka reliabilitas adalah hubungan di dalam tes itu sendiri.
Reliabilitas dapat ditentukan dengan beberapa cara, yaitu terpenting untuk diperhatikan menurut Kouwer (1952) adalah :
          • Stabilitas yang diperoleh dengan cara sesudah beberapa waktu lamanya subjek dites lagi dengan tes yang sama. Kedua tes tersebut kemudian dibandingkan.
          • Ekivalensi yakni membandingkan hasil tes dengan tes lain yang paralel. Hal ini dimaksud untuk menghinari faktor pengalaman yang mungkin berpengaruh dalam cara pertama. Karena pembuatan tes yang paralel memakan waktu lama, maka biasanya digunakan split-half methods atau internal consistency technique.
  1. Distandarisasikan
Dalam hal ini dimaksud agar situasi tes benar-benar sama bagi setiap subjek yang dites, sehingga hasilnya dapat dibandingkan dari subjek ke subjek yang lain, dan dari satu masa kemasa yang lain. Hal yang baku disini tentu saja relatif, tergantung dari norma atau standar yang dipakai. Yang perlu dilakukan dalam tes mencakup meteri tes, penyelenggaraan tes, cara memberi skor dan interpretasi hasil (Sumadi Suryasubrata, 1971).
    1. Tes harus objektif
    2. Tes harus komprehensif
    3. Tes harus diskriminatif
    4. Tes harus mudah digunakan dan murah
  1. Kriterium
Kriterium merupakan fakta atau kejadian yang diramalkan oleh tes itu, misalnya kebehasilan belajar, kepuasan bekerja keberhasilan dalam menempuh ujian, keberhasilan dalam mencapai prestasi tertentu, dan lain-lain.
Jenis kriterium menurut Kouwer adalah :
            1. Kriterium objektif, yakni semua fakta tentang prestasi atau erilaku yang dituntut dalam suatu tugas tertentu untuk dikatakan berhasil.
            2. Kriterium subjektif, yaitu pendapat-pendapat subjektif orang yang ahli/kompeten serta orang yang mengetahui permasalahan tertentu tentang prestasi atau perilaku yang harus dicapai.
            3. Kriterium langsung, dalam hal ini kriterium telah ditetapkan berupa bentuk perilaku, sikap atau tindakan yang nyata sebagai ukuran.
            4. Kriterium intermedier, kriterium ini berpatokan pada apa yang harus dicapai subjek selama suatu tugas dilaksanakan.
            5. Kriterium akhir, berkaitan dengan butir 3 dan 4 di atas, pada akhirnya diharapkan seseorang menunjukkan suatu prestasi dan keterampilan tertentu.
Yang perlu di ingat adalah bahwa kriterium tidak hanya ditentukan secara teoritik dan definitif. Harus ada suatu fakta lebih dulu yang dapat diobservasi untuk dapat menentukan apakah benar fakta tersebut dapat menjadi suatu patokan bagi pembentukan kriterium merupakan pekerjaan yang lama dan membutuhkan energi.
  1. Norma suatu tes
Dalam hal ini inilah norma dibenuk, sehingga diperoleh komparasi yang berarti antar individu tersebut. Data yang membentuk norma haruslah data yang representatif dari suatu populasi dimana tes tersebut dirancang untuk digunakan.
Untuk membentuk noema, skor mentah ditransformasikan pada beberapa jenis/distribusi. Biasanya berdasarkan rata-rata hitung sejumlah skor dan pengimpangan bakunya standard deviation/SD.
  1. Metode pemeriksaan kuantitatif dan kualitatif
Dalam metode ini dapat dikatagorikan dalam dua kelas utama, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pada metode kuantitatif, metode pemeriksaan dengan tes mendekati arti yang sebenarnya, karena dilakukan pemeriksaan malalui tes tertantu, untuk kemudian menginterprestasikan hasilnya.
Disamping metode kuantitatif, terdapat pula metode kualitatif dalam pemeriksaan psikologis. Bila dalam pemeriksaan kuantitatif sifatnya seolah-olah subjek tidak diikutsertakan, maka pada pemeriksaan kualitatif subjek justru diikutsertakan.
  1. Etika dalam Pemeriksaan Psikologi
Masalah etika dalam pemeriksaan psikologi berhubungan erat dengan etika bidang psikologi pada umumnya. Seorang diagnostikus tidaklah bebas begitu saja dalam menyelenggarakan suatu pemeriksaan psikologi, meskipun ia sudah cukup kompeten dan ahli dalam menggunakan seperangakat tes. Banyak persyaratan yang dituntut dan harus dipertimbangakan olehnya.
Yang menjadi permasalahan dalam etika pemeriksaan psikologi biasanya mencakup hal berikut ini :
    1. Siapa yang berhak melakukan diagnosis psikologi
    2. Siapa yang bertanggung jawab untuk mengamankan seperangkat tes
    3. bagaimana seharusnya seorang diagnotikus bersikap bertingkah laku dalam menegakan suatu diagnosa psikologi
  1. Siapa yang Berhak Melakukan Diagnosa Psikologi
Ditinjau dari segi penggunaan dan penyelenggaraannya diagnosa psikologi dapat dikelompokkan sebagai berikut :
            1. Dianosa untuk keperluan pelatihan/pendidikan
            2. Dianosa mengenai prestasi belajar
            3. Dianosa dengan menggunakan tes psikologi
  1. Bagaimana seharusnya seorang diagnostikus bersikap dan bertingkah laku dalam suatu pemeriksaan psikologi
Secara ringkas hal ini dapat diuraikan sebagai berikut :
    1. Etika dalam tes meramalkan/memprediksikan
    2. Etika dalam tes mendeskripsikan
    3. Etika dalam tes menemukan diri sendiri
  1. Syarat untuk membentuk kemampuan dan ketrampilan psikodiagnostik
      1. Mampu membentuk raport dalam arti membangkitkan minat subjek untuk mau dan dapat bekerja sama.
      2. Mampu berempati yaitu memahami perasaan dan kebutuhan orang lain
      3. Mau membangun impretasi yang tepat
      4. Memiliki kematangan pribadi
      5. Mampu bersikap kritis
      6. Memiliki wawasan yang luas
      7. Memiliki kepekaan
      8. Mampu membentuk persepsi
      9. Mampu membntuk penyesian diri
      10. Mampu mengevaluasi diri demi efektivitas

BAB III LINGKUP TES PSIKOLOGI
  1. Jenis Tes
    1. Tes inteligensi
Tes inteligensi pada dasarnya adalah tes untuk mengungkapkan kemampuan umum intelektual seseorang.
    1. Tes Kecakapan
Tes kecakapan mengukur kemampuan-kemampuan khusus individu dan termasuk kecil/sempit dari tes kemampaun yang kemudian dibagi ke dalam dua jenis tes yaitu tes kecakapan tunggal dan tes kecakapan rangkap.
    1. Tes Prestasi
    2. Tes Kreativitas
    3. Tes Kepribadian
    4. Tes Minat dan Bakat
    5. Tes Perilaku
    6. Tes Neuropsikologi
    7. Tes untuk Populasi Berkebutuhan Khusus
  1. Skala Piagetian
  2. Mengetes Orang-orang yang Terbelakang Mental
  3. Mengetes Penyandang Cacat Jasmani
    1. Kerusakan Pendengaran
    2. Kerusakan Penglihatan
    3. Kerusakan Motorik
  4. Testing Multikultural