GOLEK-GOLEK

Selasa, 29 Maret 2011

Asesmen Anak Tuna Rungu

Asesmen Anak Tuna Rungu
Pendidikan anak tuna rungu merupakan proses yang kompleks. Penempatan yang tepat, cara cara belajar terbaik bagi masing-masing anak (auditori, visual, atau manual), kurikulum, amplifikasi, dan keputusan tentang transisi dari satu lembaga layanan ke lembaga layanan lainnya yang diambil oleh keluarga, sekolah dan individu, bergantung pada informasi yang reliabel.
Tujuan-tujuan asesmen anak tuna rungu mencakup:
Menetapkan baseline level kinerja anak
Menentukan penenpatan yang tepat atau mengubah penempatannya
Mengukur kemajuan anak
Merumuskan saran-saran untuk pemecahan masalah yang timbul, seperti masalah perilaku, kesulitan perhatian, atau lambatnya perhatian anak.
Mengembangkan tujuan dan sasaran program yang sedang diimplementasikan.
Pembelajaran tuna rungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tuna rungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif (MMR). Pembelajaran bagi anak tuna rungu berbeda dari pembelajaran pada umumnya. Hal ini dikarenakan tuna rungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tuna rungu menyerap informasi.
Melalui metode maternal reflektif (MMR) ini tuna rungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai artikulasinya, hingga tuna rungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar. Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca, dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh.
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).
Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.
Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya. Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak.
Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan.
Perkembangan Bahasa Anak Tuna Rungu
Banyak hal dampak yang paling serius dari ketunarunguan yang terjadi pada masa prabahasa terhadap perkembangan individu adalah dalam perkembangan bahasa lisan, dan akibatnya dalam kemampuannya untuk belajar secara normal di sekolah yang sebagian besar di dasarkan atas pembicaraan guru, membaca dan menulis.
Bahasa Tulis
Dalam hal bahasa tulis, terdapat juga cukup banyak bukti bahwa anak tuna rungu mengalami kesulitan untuk mengekspresikan dirinya secara tertulis. Dalam beberapa penelitian yang berfokus pada ketepatan sintaksis bahasa Inggris tertulis anak tunarungu, ditemukan bahwa mereka cenderung menggunakan banyak frase yang sama secara berulang-ulang dalam kalimat sederhana, lebih sedikit kalimat majemuk, dan mereka membuat banyak kesalahan kecil dalam penggunaan tenses, kata bilangan, penggunaan kata ganti dan kata penunjuk, dll. Menjelang usia 12 tahun, mereka cenderung dapat menguasai penulisan kalimat-kalimat sederhana, tetapi bila mereka mencoba menulis kalimat yang lebih kompleks, kesalahan-kesalahan kecil muncul lagi.
Ujaran (speech)
Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang keterpahaman ujaran anak tuna rungu pada berbagai tingkat ketunarunguannya. Keterpahaman ujaran individu tuna rungu bervariasi dari hampir normal hingga tak dapat dipahami sekali, kecuali oleh mereka yang mengenalnya dengan baik. Hasil penelitian yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Hudgins dan Numbers (1942) yang menganalisis ujaran 192 anak tuna rungu berat dan berat sekali. Mereka menemukan bahwa kekurangan dalam ujaran anak-anak ini adalah dalam hal ritme dan pemenggalan frase, suaranya agak monoton dan tidak ekspresif, dan tidak menghasilkan warna suara yang alami. Mereka juga menemukan bermacam-macam kesalahan artikulasi pada bunnyi-bunyi ujaran tertentu (kesalahan artukulasi vokal biasanya lebih sering dibandingkan konsonan). Hudgins dan Numbers menemukan bahwa kurang dapat dipahaminya ujaran individu tuna rungu itu lebih banyak diakibatkan oleh tidak normalnya ritme dan pemenggalan frase dari pada kesalahan artikulasi.
Terdapat tiga cara utama individu tuna rungu mengakses bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, dengan mendengarkan (bagi mereka yang masih memiliki sisa pendengaran), dan dengan komunikasi manual atau dengan kombinasi tiga cara tersebut.
1.Mengakses bahasa melalui membaca ujaran (speechreading)
Hanya sekitar 50% bunya ujaran bahasa inggris dapat dilihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat dibelakang bibir yang tertutup atau jauh di belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuannya yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenail bunyi-bunyi yang hilang. Jadi orang tuna rungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik dari pada tuna rungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tuna rungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik dari pada orang tuna rungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman dan Elkins,1994)
2.Mengakses bahasa melalui pendengaran
Meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenal oleh tuna rungu berat secara cukup baik untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tuna rungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut menyebabkan individu tuna rungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Disamping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tuna rungu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan baterai dan earmould yang tidak cocok.
3.Mengakses bahasa melalui isyarat tangan
Ashman dan Elkins (1994) mengemukakan bahwa bahasa isyarat yang baku menggambarkan lengkap tentang bahasa kepada tuna rungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Akan tetapi tidak semua siswa tuna rungu menggunakan bahasa isyarat, terutama yang pengajarannya menggunakan metode oral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar